PENGERTIAN AL-QUR’AN
PENGERTIAN AL-QUR’AN MENURUT KEBANYAKAN KITAB ULUMUL
QUR’AN SEBAGAI BERIKUT:القرآن كلام الله المنزل على محمد صلى الله عليه وسلم للاعجاز بسورة منه والبيان العقائد والاحكام وغيرهما
AL-QUR’AN adalah: firman ALLAH SWT yang diturunkan kepada NABI MUHAMMAD SAW untuk mengalahkan musuh dengan satu surah darinya,dan menerangkan ‘aqidah ‘aqidah dan hukum hukum dll.
sebagian melengkapi dengan menyebutkan AL-QUR’AN adalah firman ALLAH SWT yang diturunkan kepada NABI MUHAMMAD SAW melalui malaikat jibril yang mempnyai gelar ruhul qudus yang diturunkan secara berangsur angsur untuk mengalahkan musuh dengan satu surah darinya yang menerangkan ‘aqidah ‘aqidah dan hukum hukum dan lain lain.
yang diberi pahala siapa yang membacanya dan yang mendengarkannya.
AL-QUR’AN adalah pegangan umat islam yang menunjuki umat kepada jalan yang lurus serta diridlai tuhan semesta alam (ALLAH SWT)
AL-QUR’AN adalah firman ALLAH SWT yang diturunkan/diwahyukan kepada nabi muhammad saw.
yang menjadi peringatan,sebagaimana firman ALLAH SWT dalam surat thaha ayat 2-3
ما انزلنا عليك القرآن لتشقى
الا تذكرة لمن يخشى
artinya:
kami tidak menurunkan al-qur’an ini kepadamu agar kamu menjadi susah.
tetapi sebagai peringatan bagi orang orang yang takut (kepada allah)
AL-QUR’AN menerangkan hukum hukum seperti kewajiban melaksanakan shalat dan menunaikan zakat.
sebagaimana firman ALLAH SWT dalam surat nisa’ ayat 77
واقيمواالصلوة وآتواالزكوة
artinya:
dan mendirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat
AL-QUR’AN diturunkan dengan bahasa arab dan tidak boleh dibaca dan ditulis dengan bahasa ajam (bahasa selain bahasa arab)
ALLAH swt berfirman dalam surat zukhruf ayat 3
انا جعلناه قرآنا عربيا لعلكم تعقلون
artinya:
sesungguhnya kami menjadikan AL-QUR’AN dalam bahasa arab supaya kamu memahami (nya).
AL-QUR’AN Dijaga langsung oleh ALLAH.
sebagaimana firman ALLAH dalam surat al-hijr ayat 9
انا نحن نزلنا الذكر وانا له لحافظون
artinya:
sesungguhnya kamilah yang menurunkan al-dzikro (al-qur’an) dan sesungguhnya kami pulalah yang memeliharanya.
al-qur’an sebagai obat semua penyakit,baik penyakit lahir maupun penyakit bathin.
namun sebagian orang yang masih dalam pemahaman ilmunya rendah dan bukan termasuk islam sunni ada yang tidak meyakini al-qur’an bisa menyembuhkan atau menjadi obat penyakit dhahir/lahiriyah.
allah saw berfirman dalam surat al-isro’ ayat 82
وننزل من القرآن ما هو شفاء ورحمة للمؤمنين
artinya:
dan kami turunkan dari al-qur’an suatu yang menjadi obat dan rahmat bagi orang orang yang beriman.
al-qur’an mengalahkan musuh hanya dengan satu surat dari al-qur’an.
al-qur’an mengandung keajaiban yang sangat luar biasa didalamnya penuh dengan hikmah dan rahmah dan al-qur’an adalah sumber ilmu agama dan sumber semua ilmu dan termasuk ilmu balaghah.
kandungan ilmu balaghahnya al-qur’an tidak bisa ditandingi karna al-qur’an adalah firman allah swt yang maha ‘alim.
mulai pada zaman rasulullah saw orang orang kafir tidak percaya kepada al-qur’an,mereka menganggap al-qur’an adalah buatan rasulullah saw,karna dari itu allah swt menurunkan firmannya yang ada disurat al-baqaroh ayat 23
pada waktu itu orang orang kafir banyak yang membuat karangan tandingan al-qur’an namun semua tidak bisa membuat sampai selesai,karna dalam al-qur’an balaghahnya sangat dan sangat luar biasa.
(anda bisa baca hal ini selengkapnya di kitab lubbut tafsir)
al-qur’an sebagai petunjuk buat semua orang yang beriman.
allah swt berfirman di surat fushshilat ayat 44
قل هو للذين امنوا هدى وشفاء
artinya:
katakanlah adapun al-qur’an itu adalah petunjuk dan obat/penawar bagi orang orang yang beriman.
kumpulan dari beberapa ayat al qur’an yang mempunya nama khusus dinamakan surat/surah
al qur’an di turunkan secara beransur ansur dan cara penerimaannya bermacam macam cara.
al qur’an adalah pegangan ummat muslim,pedoman pertama sebelum al hadits.
Sejarah Al-Qur'an hingga
berbentuk mushaf
Manuskrip dari Al-Andalus abad ke-12
Al-Qur'an memberikan dorongan yang besar untuk mempelajari sejarah dengan
secara adil, objektif dan tidak memihak[2]. Dengan demikian tradisi sains Islam sepenuhnya
mengambil inspirasi dari Al-Qur'an, sehingga umat Muslim mampu
membuat sistematikapenulisan sejarah yang lebih mendekati landasan penanggalan astronomis.
Penurunan Al-Qur'an
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Periode penurunan Al-Qur'an
Al-Qur'an tidak turun sekaligus. Al-Qur'an turun secara berangsur-angsur
selama 22 tahun 2 bulan 22 hari. Oleh para ulama membagi masa turun ini dibagi
menjadi 2 periode, yaitu periode Mekkah dan
periode Madinah. Periode Mekkah berlangsung selama 12 tahun masa
kenabian Rasulullah SAW dan surat-surat yang turun pada waktu ini
tergolong surat Makkiyyah. Sedangkan periode Madinah yang
dimulai sejak peristiwa hijrah berlangsung selama 10 tahun
dan surat yang turun pada kurun waktu ini disebut surat Madaniyah.
Penulisan Al-Qur'an dan
perkembangannya
Penulisan (pencatatan dalam bentuk teks) Al-Qur'an sudah dimulai sejak
zaman Nabi Muhammad SAW. Kemudian transformasinya menjadi teks yang dijumpai
saat ini selesai dilakukan pada zaman khalifah Utsman bin Affan.
Pengumpulan Al-Qur'an pada
masa Rasullulah SAW
Pada masa ketika Nabi Muhammad SAW masih hidup, terdapat beberapa orang
yang ditunjuk untuk menuliskan Al Qur'an yakni Zaid bin Tsabit, Ali bin Abi Talib, Muawiyah bin Abu Sufyan dan Ubay bin Kaab. Sahabat yang lain juga kerap menuliskan wahyu
tersebut walau tidak diperintahkan. Media penulisan yang digunakan saat itu
berupa pelepah kurma, lempengan batu, daun lontar, kulit atau daun kayu,
pelana, potongan tulang belulang binatang. Di samping itu banyak juga
sahabat-sahabat langsung menghafalkan ayat-ayat Al-Qur'an setelah wahyu
diturunkan.
Pengumpulan Al-Qur'an pada
masa Khulafaur Rasyidin
Pada masa pemerintahan Abu
Bakar
Pada masa kekhalifahan Abu Bakar, terjadi beberapa pertempuran
(dalam perang yang dikenal dengan nama perang Ridda)
yang mengakibatkan tewasnya beberapa penghafal Al-Qur'an dalam jumlah yang
signifikan. Umar bin Khattab yang
saat itu merasa sangat khawatir akan keadaan tersebut lantas meminta kepada Abu
Bakar untuk mengumpulkan seluruh tulisan Al-Qur'an yang saat itu tersebar di
antara para sahabat. Abu Bakar lantas memerintahkan Zaid bin Tsabit sebagai koordinator pelaksaan tugas
tersebut. Setelah pekerjaan tersebut selesai dan Al-Qur'an tersusun secara rapi
dalam satu mushaf, hasilnya
diserahkan kepada Abu Bakar. Abu Bakar menyimpan mushaf tersebut hingga
wafatnya kemudian mushaf tersebut berpindah kepada Umar sebagai khalifah
penerusnya, selanjutnya mushaf dipegang oleh anaknya yakni Hafsah yang juga
istri Nabi Muhammad SAW.
Pada masa pemerintahan
Utsman bin Affan
Pada masa pemerintahan khalifah ke-3 yakni Utsman bin Affan, terdapat keragaman dalam cara pembacaan
Al-Qur'an (qira'at) yang disebabkan oleh adanya perbedaan dialek(lahjah)
antar suku yang berasal dari daerah berbeda-beda. Hal ini menimbulkan
kekhawatiran Utsman sehingga ia mengambil kebijakan untuk membuat sebuah mushaf
standar (menyalin mushaf yang dipegang Hafsah) yang ditulis dengan sebuah jenis
penulisan yang baku. Standar tersebut, yang kemudian dikenal dengan istilah
cara penulisan (rasam) Utsmani yang digunakan hingga saat ini. Bersamaan dengan
standardisasi ini, seluruh mushaf yang berbeda dengan standar yang dihasilkan
diperintahkan untuk dimusnahkan (dibakar). Dengan proses ini Utsman berhasil
mencegah bahaya laten terjadinya perselisihan di antara umat Islam pada masa
depan dalam penulisan dan pembacaan Al-Qur'an.
Mengutip hadist riwayat Ibnu Abi Dawud dalam Al-Mashahif, dengan
sanad yang shahih:
“
|
Suwaid bin Ghaflah berkata,
"Ali mengatakan: Katakanlah segala yang baik tentang Utsman. Demi Allah,
apa yang telah dilakukannya mengenai mushaf-mushaf Al Qur'an sudah atas
persetujuan kami. Utsman berkata, 'Bagaimana pendapatmu tentang isu qira'at
ini? Saya mendapat berita bahwa sebagian mereka mengatakan bahwa qira'atnya
lebih baik dari qira'at orang lain. Ini hampir menjadi suatu kekufuran'. Kami
berkata, 'Bagaimana pendapatmu?' Ia menjawab, 'Aku berpendapat agar umat
bersatu pada satu mushaf, sehingga tidak terjadi lagi perpecahan dan
perselisihan.' Kami berkata, 'Pendapatmu sangat baik'."
|
”
|
Menurut Syaikh Manna' Al-Qaththan dalam Mahabits fi 'Ulum Al Qur'an,
keterangan ini menunjukkan bahwa apa yang dilakukan Utsman telah disepakati
oleh para sahabat. Demikianlah selanjutnya Utsman mengirim utusan kepada Hafsah
untuk meminjam mushaf Abu Bakar yang ada padanya. Lalu Utsman memanggil Zaid
bin Tsabit Al-Anshari dan tiga orang Quraish, yaitu Abdullah bin Az-Zubair,
Said bin Al-Ash dan Abdurrahman bin Al-Harits bin Hisyam. Ia memerintahkan
mereka agar menyalin dan memperbanyak mushaf, dan jika ada perbedaan antara Zaid
dengan ketiga orang Quraish tersebut, hendaklah ditulis dalam bahasa Quraish
karena Al Qur'an turun dalam dialek bahasa mereka. Setelah mengembalikan
lembaran-lembaran asli kepada Hafsah, ia mengirimkan tujuh buah mushaf, yaitu
ke Mekkah, Syam, Yaman, Bahrain, Bashrah, Kufah, dan sebuah ditahan di Madinah
(mushaf al-Imam).
Fungsi Al-Qur’an
Setelah Rasulullah wafat, yang tertinggal adalah
Al-Qur’an yang terjaga dari penyimpangan dan pemutarbalikan fakta agar dipakai
sebagai petunjuk dan pedoman dalam mengarungi dunia fana ini. Firman Allah SWT
:
“Katakanlah hai manusia,
sesungguhnya aku adalah utusan Allah (yang) diutus kepada kalian semua, bahwa
Allahlah yang mempunyai kerajaan langit dan bumi, tidak ada Tuhan selain Dia
yang menghidupkan dan yang mematikan, maka berimanlah kalian kepada Allah dan
rasulNya. Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada
kalimat-kalimatNya (kitab-kitabNya) dan ikutilah Dia agar kalian mendapat
petunjuk (QS Al-Arof : 158)[4]
Juga disebutkan FirmanyaNya :
“Maha suci Allah yang telah
menurunkan Al-Furqon(Al-Qur’an) kepada hambaNya, agar menjadi peringatan kepada
seluruh alam” (QS Furqon: 1)[5]
Fungsi Alqur’an
Sebagai Berikut :
1.Petunjuk bagi Manusia.
Allah swt menurunkan Al-Qur’ansebagai petujuk umar manusia,seperti yang dijelaskan dalam surat (Q.S AL-Baqarah 2:185 (QS AL-Baqarah 2:2) dan (Q.S AL-Fusilat 41:44)
Allah swt menurunkan Al-Qur’ansebagai petujuk umar manusia,seperti yang dijelaskan dalam surat (Q.S AL-Baqarah 2:185 (QS AL-Baqarah 2:2) dan (Q.S AL-Fusilat 41:44)
2. Sumber pokok ajaran islam.
Fungsi AL-Qur’an sebagai sumber ajaran islam sudah diyakini dan diakui kebenarannya oleh segenap hukum islam.Adapun ajarannya meliputi persoalan kemanusiaan secara umum seperti hukum,ibadah,ekonomi,politik,social,budaya,pendidikan,ilmu pengethuan dan seni.
3. Peringatan dan pelajaran bagi manusia.
Dalam AL-Qur’an banyak diterangkan tentang kisah para nabi dan umat terdahulu,baik umat yang taat melaksanakan perintah Allah maupun yang mereka yang menentang dan mengingkari ajaran Nya.Bagi kita,umat uyang akan datang kemudian rentu harus pandai mengambil hikmah dan pelajaran dari kisah-kisah yang diterangkan dalam Al-Qur’an.
4. sebagai mukjizat Nabi Muhammad saw.
Turunnya Al-Qur’an merupakan salah satu mukjizat yang dimilki oleh nabi Muhammad saw. Sebagian nama–nama Al-Qur’an, baik secara langsung maupun tidak langsung memperlihatkan fungsi Al-Qur’an. Dari sudut isi atau substansinya, fungsi Al-Qur’an sebagai tersurat dalam nama-namanya adalah sebagai berikut:
a.Al-Huda
(petunjuk)
Dalam Al-Qur’an terdapat tiga kategori tentang posisi
Al-Qur’an sebagai petunjuk. Pertama, petunjuk bagi manusia secara umum. Allah
berfirman, “Bulan ramadhan adalah bulan yang diturunkan-Nya Al-Qur’an yang
berfungsi sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasannya mengenai
itu …” (QS Al-Baqoroh [2]: 185).
Kedua, Al-Qur’an adalah petunjuk bagi orang-orang yang
bertaqwa. Allah berfirman, “Kitab Al-Qur’an ini tidak ada keraguan di dalamnya,
petunjuk bagi mereka yang bertaqwa” (QS Al-Baqoroh [2]: 2).
Bahwa Al-Qur’an berfungsi sebagai petunjuk bagi
orang-orang yang bertaqwa dijelaskan pula dalam ayat lainnya, antara lain Surat
Al-Imron [3] ayat 138.
Ketiga, petunjuk bagi orang-orang yang beriman. Allah
berfirman, : “…. Katakanlah : ‘Al-Qur’an itu adalan petunjuk dan penawar bagi
orang-orang beriman…” (QS Fussila [41]: 44).
b.Al-Furqon
(pemisah)
Dalam Al-Qur’an dikatakan bahwa ia adalah ugeran
yangmembedakan dan bahkan memisahkan antara yang hak dan yang batil atau antara
yang benar dengan yang salah. Allah berfirman, “Bulan Ramadhan adalah bulan
diturunkannya Al-Qur’an yang berfungsi sebagai petunjuk bagi manusia dan
penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan
yang batil) … (QS Al-Baqaroh [2] : 185).
c.Al-Syifa
(Obat)
Al-Qur’an dikatakan bahwa ia berfungsi sebagai obat
bagi penyakit yang ada di dalam dada (mungkin yang dimaksud disini adalah
penyakit psikologis). Allah berfiman, “Hai manusia sesungguhnya telah datang
kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh dari penyakit-penyakit (yang
berada) dalam dada…”(QS Yunus [10] : 57).
d.Al
Mau’idzoh (nasehat)
Dalam Al-Qur’an dikatakan bahwa
ia berfungsi sebagai nasehat bagi orang-orang bertaqwa. Allah berfirman, “Al-Qur’an
ini adalah penerangan bagi seluruh manusia dan petunjuk serta pelajaran bagi
orang-orang bertaqwa” (QS Ali-Imron [3]: 138)
Demikianlah fungsi Al-Qur’an yang
diambil dari nama-namanya yang difirman Allah dalam Al-Qur’an. Sedang fungsi
Al-Qur’an dari pengalaman dan penghayatan terhadap isinya bergantung pada
kualitas ketaqwaan invidu yang bersangkutan.[6]
1.Petunjuk bagi Manusia.
Allah swt menurunkan Al-Qur’ansebagai petujuk umar manusia,seperti yang dijelaskan dalam surat (Q.S AL-Baqarah 2:185 (QS AL-Baqarah 2:2) dan (Q.S AL-Fusilat 41:44)
Allah swt menurunkan Al-Qur’ansebagai petujuk umar manusia,seperti yang dijelaskan dalam surat (Q.S AL-Baqarah 2:185 (QS AL-Baqarah 2:2) dan (Q.S AL-Fusilat 41:44)
2. Sumber pokok ajaran islam.
Fungsi AL-Qur’an sebagai sumber ajaran islam sudah diyakini dan diakui kebenarannya oleh segenap hukum islam.Adapun ajarannya meliputi persoalan kemanusiaan secara umum seperti hukum,ibadah,ekonomi,politik,social,budaya,pendidikan,ilmu pengethuan dan seni.
3. Peringatan dan pelajaran bagi manusia.
Dalam AL-Qur’an banyak diterangkan tentang kisah para nabi dan umat terdahulu,baik umat yang taat melaksanakan perintah Allah maupun yang mereka yang menentang dan mengingkari ajaran Nya.Bagi kita,umat uyang akan datang kemudian rentu harus pandai mengambil hikmah dan pelajaran dari kisah-kisah yang diterangkan dalam Al-Qur’an.
Fungsi AL-Qur’an sebagai sumber ajaran islam sudah diyakini dan diakui kebenarannya oleh segenap hukum islam.Adapun ajarannya meliputi persoalan kemanusiaan secara umum seperti hukum,ibadah,ekonomi,politik,social,budaya,pendidikan,ilmu pengethuan dan seni.
3. Peringatan dan pelajaran bagi manusia.
Dalam AL-Qur’an banyak diterangkan tentang kisah para nabi dan umat terdahulu,baik umat yang taat melaksanakan perintah Allah maupun yang mereka yang menentang dan mengingkari ajaran Nya.Bagi kita,umat uyang akan datang kemudian rentu harus pandai mengambil hikmah dan pelajaran dari kisah-kisah yang diterangkan dalam Al-Qur’an.
4. sebagai mukjizat Nabi Muhammad saw.
Turunnya Al-Qur’an merupakan salah satu mukjizat yang dimilki oleh nabi Muhammad saw.
Pengertian
Hadits
Ada banyak ulama periwayat hadits, namun yang sering dijadikan referensi hadits-haditsnya ada tujuh ulama, yakni Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Daud, Imam Turmudzi, Imam Ahmad, Imam Nasa'i, dan Imam Ibnu Majah.
Ada bermacam-macam hadits, seperti yang diuraikan di bawah ini.
·
Hadits yang
dilihat dari banyak sedikitnya perawi
o
Hadits
Mutawatir
o
Hadits Ahad
§ Hadits Shahih
§ Hadits Hasan
§ Hadits Dha'if
·
Menurut
Macam Periwayatannya
o
Hadits yang
bersambung sanadnya (hadits Marfu' atau Maushul)
o
Hadits yang
terputus sanadnya
§ Hadits Mu'allaq
§ Hadits Mursal
§ Hadits Mudallas
§ Hadits Munqathi
§ Hadits Mu'dhol
·
Hadits-hadits
dha'if disebabkan oleh cacat perawi
o
Hadits
Maudhu'
o
Hadits Matruk
o
Hadits
Mungkar
o
Hadits
Mu'allal
o
Hadits
Mudhthorib
o
Hadits
Maqlub
o
Hadits
Munqalib
o
Hadits
Mudraj
o
Hadits Syadz
·
Beberapa
pengertian dalam ilmu hadits
·
Beberapa
kitab hadits yang masyhur / populer
KEDUDUKAN DAN FUNGSI
HADITS TERHADAP AL-QUR’AN
Kedudukan Hadist dalam Tasyri’
Dalam hukum Islam, hadits menjadi sumber hokum kedua setelah al-Qur`an. Penetapan hadits sebagai sumber kedua ditunjukan oleh tiga hal, yaitu al-Qur`an sendiri, kesepakatan (ijma`) ulama, dan logika akal sehat (ma`qul). Al-Quran menekankan bahwa Rasul Sawberfungsi menjelaskan maksud firman-firman Allah (QS. 16:44). Karena itu apa yang disampaikan Nabi harus diikuti, bahkan perilaku Nabi sebagai rasul harus diteladani oleh kaum muslimin. Sejak masa sahabat sampai hari ini para ulama telah bersepakat dalam penetapan hokum didasarkan juga kepada sunnah Nabi, terutama yang berkaitan dengan petunjuk operasional. Keberlakuan hadits sebagai sumber hukum diperkuat pula dengan kenyataan bahwa Al-Qur`an hanya memberikan garis-garis besar dan petunjuk umum yang memerlukan penjelasan dan rincian lebih lanjut untuk dapat dilaksanakan dalam kehidupan manusia. Karena itu, keabsahan hadits sebagai sumber kedua secara logika dapat diterima.
Di antara ayat-ayat yang menjadi bukti bahwa hadits merupakan sumber hokum dalam Islam adalah sebagai berikut :
An- Nisa’: 80
Dalam hukum Islam, hadits menjadi sumber hokum kedua setelah al-Qur`an. Penetapan hadits sebagai sumber kedua ditunjukan oleh tiga hal, yaitu al-Qur`an sendiri, kesepakatan (ijma`) ulama, dan logika akal sehat (ma`qul). Al-Quran menekankan bahwa Rasul Sawberfungsi menjelaskan maksud firman-firman Allah (QS. 16:44). Karena itu apa yang disampaikan Nabi harus diikuti, bahkan perilaku Nabi sebagai rasul harus diteladani oleh kaum muslimin. Sejak masa sahabat sampai hari ini para ulama telah bersepakat dalam penetapan hokum didasarkan juga kepada sunnah Nabi, terutama yang berkaitan dengan petunjuk operasional. Keberlakuan hadits sebagai sumber hukum diperkuat pula dengan kenyataan bahwa Al-Qur`an hanya memberikan garis-garis besar dan petunjuk umum yang memerlukan penjelasan dan rincian lebih lanjut untuk dapat dilaksanakan dalam kehidupan manusia. Karena itu, keabsahan hadits sebagai sumber kedua secara logika dapat diterima.
Di antara ayat-ayat yang menjadi bukti bahwa hadits merupakan sumber hokum dalam Islam adalah sebagai berikut :
An- Nisa’: 80
مَنْ يُطِعِ
الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ … (80)
“Barangsiapa
yang mentaati Rosul, maka sesungguhnya dia telah mentaati Alloh…”
Dalam ayat lain Allah berfirman :
Dalam ayat lain Allah berfirman :
وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا
نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا … (7)
“Apa yang diberikan
Rasul kepadamu, maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka
tinggalkanlah…” (QS.
Al-Hasyr : 7)
Dalam Q.S AnNisa’ 59, Allah berfirman :
Dalam Q.S AnNisa’ 59, Allah berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ
وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي
شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ… (59)
“Hai orang-orang
yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara
kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembali
kanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya)…”
Dari beberapa
ayat di atas dapat disimpulkan bahwa seseorang tidak cukup hanya berpedoman
pada al-Qur’an dalam melaksanakan ajaran Islam, tapi juga wajib berpedoman
kepada hadits Rasulullah Saw. Hal ini juga ditegaskan oleh
Syaikh al-Albani bahwa syari’at Islam bukan hanya al-Qur’an
saja, melainkan juga as-Sunnah. Barangsiapa hanya berpegang pada salah
satunya, maka berarti sama dengan tidak berpegang dengan keduanya, karena
Al-Qur’an memerintahkan untuk berpegang dengan as-Sunnah demikian pula
sebaliknya. (manzilatus sunnahfil Islam, hal:14, MaktabahSyamilah)
Kedudukan dan Fungsi Hadits Terhadap Al-Qur’an
Al-Qur’an merupakan kitab suci terakhir yang diturunkan Allah. Kitab al-Qur’an adalahsebagai penyempurna dari kitab-kitab Allah yang pernah diturunkan sebelumnya. Dalam al-Qur’an terkandung petunjuk dan aturan berbagai aspek kehidupan manusia. Ayat-ayatMakkiyyah misalnya banyak berbicara tentang persoalan tauhid, keimanan, kisah para nabidan rasul terdahulu, dan lain sebagainya. Sementara ayat-ayat Madaniayah banyakmenjelaskan tentang ibadah, muamalah, hudud, jihad, dan lain sebagainya. Secara umum kandungan al-Qur’an dapat dibagi kepada tiga hal pokok, yaitu prinsip-prinsip akidah, seperti beriman kepada Allah Swt, rasul-rasulnya dan lain-lain, prinsip-prinsip ibadah, seperti sholat, puasa dan lain-lain, prinsip-prinsip syariat, seperti hukum perkawinan, kewarisan dan lain-lain. Namun meskipun demikian al-Qur’an tidak bisa dipisahkan dengan hadits, karena syariat Islam tidak hanya al-Qur’an tapi al-Qur’an dan hadits. Bahkan adaulama yang menyatakan bahwa al-Qur’an dan hadits berada dalam satu tingkatan dari sisii’tibar dan hujjah dalam penetapan hukum syari’at. Di sinilah pentingnya mengetahui fungsi dan kedudukan hadits terhadap al-Qur’an.
Imam Ibnu Al Qoyyim mengatakan bahwa hubungan hadits dengan al-Qur`an ada tiga :
1. Hadits sesuai dengan al-Qur`an dari berbagai segi, sehingga datang al-Qur`an dan hadits pada
satuhukummenunjukkanadadanbanyaknyadalil (semakin menguatkan).
2. Hadits sebagai penjelas maksud al-Qur`an dan penafsirnya.
3. Hadits menentukan satu hukum wajib atau haran pada sesuatu yang al-Qur`an diamkan.
As-Sunnah tidak akan keluar dari tiga kategori ini, sehingga As-Sunnah tidak akan menentang al-Qur`an sama sekali. (‘Ilam Muwaqi’in: 307, Maktabah Syamilah).
Syeikh al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin al-Albani juga berpendapat bahwa Rasulullah Saw befungsi untuk menjelaskan al-Qur’an. Beliau memandang bahwapenjelasan yang tertera dalam ayat al-Qur’an mencakup dua jenis penjelasan ;
1. Penjelasan lafadz dan susunannya. Seperti firman Allah dalam surat Al-Maidah: 67, diperkuat
dengan hadits yang diriwayatkan oleh sayyidah ‘Aisyah ra.
Kedudukan dan Fungsi Hadits Terhadap Al-Qur’an
Al-Qur’an merupakan kitab suci terakhir yang diturunkan Allah. Kitab al-Qur’an adalahsebagai penyempurna dari kitab-kitab Allah yang pernah diturunkan sebelumnya. Dalam al-Qur’an terkandung petunjuk dan aturan berbagai aspek kehidupan manusia. Ayat-ayatMakkiyyah misalnya banyak berbicara tentang persoalan tauhid, keimanan, kisah para nabidan rasul terdahulu, dan lain sebagainya. Sementara ayat-ayat Madaniayah banyakmenjelaskan tentang ibadah, muamalah, hudud, jihad, dan lain sebagainya. Secara umum kandungan al-Qur’an dapat dibagi kepada tiga hal pokok, yaitu prinsip-prinsip akidah, seperti beriman kepada Allah Swt, rasul-rasulnya dan lain-lain, prinsip-prinsip ibadah, seperti sholat, puasa dan lain-lain, prinsip-prinsip syariat, seperti hukum perkawinan, kewarisan dan lain-lain. Namun meskipun demikian al-Qur’an tidak bisa dipisahkan dengan hadits, karena syariat Islam tidak hanya al-Qur’an tapi al-Qur’an dan hadits. Bahkan adaulama yang menyatakan bahwa al-Qur’an dan hadits berada dalam satu tingkatan dari sisii’tibar dan hujjah dalam penetapan hukum syari’at. Di sinilah pentingnya mengetahui fungsi dan kedudukan hadits terhadap al-Qur’an.
Imam Ibnu Al Qoyyim mengatakan bahwa hubungan hadits dengan al-Qur`an ada tiga :
1. Hadits sesuai dengan al-Qur`an dari berbagai segi, sehingga datang al-Qur`an dan hadits pada
satuhukummenunjukkanadadanbanyaknyadalil (semakin menguatkan).
2. Hadits sebagai penjelas maksud al-Qur`an dan penafsirnya.
3. Hadits menentukan satu hukum wajib atau haran pada sesuatu yang al-Qur`an diamkan.
As-Sunnah tidak akan keluar dari tiga kategori ini, sehingga As-Sunnah tidak akan menentang al-Qur`an sama sekali. (‘Ilam Muwaqi’in: 307, Maktabah Syamilah).
Syeikh al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin al-Albani juga berpendapat bahwa Rasulullah Saw befungsi untuk menjelaskan al-Qur’an. Beliau memandang bahwapenjelasan yang tertera dalam ayat al-Qur’an mencakup dua jenis penjelasan ;
1. Penjelasan lafadz dan susunannya. Seperti firman Allah dalam surat Al-Maidah: 67, diperkuat
dengan hadits yang diriwayatkan oleh sayyidah ‘Aisyah ra.
يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ
مِنْ رَبِّكَ … (67)
“Hai Rasul, sampaikan apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu…”
Hal ini diperkuat dengan hadits yang bersumber dari ‘Aisyah ra, “Siapa yang menceritakan kepada kalian bahwa Muhammad menyembunyikan sesuatu yang diperintahkan untuk disampaikan maka telah berdusta besar terhadap Allah. Kemudian beliau membaca ayat tersebut.” (HR Bukhori Muslim). (manzilatussunnahfil Islam, hal:4, MaktabahSyamilah)
2. Penjelasan pengertian lafadz atau kalimat atau ayat yang umat butuh penjelasannya. Terbanyak terjadi pada ayat-ayat yang mujmalah (samar) atau umum atau mutlaq, lalu datanglah hadits menjelaskan yang mujmal, mengkhususkan yang umum dan mentaqyid yang muthlaq. Hal itu dijelaskan dengan perkataan, perbuatan dan persetujuan beliau.
Contoh firman Allah yang berbunyi ;
Hal ini diperkuat dengan hadits yang bersumber dari ‘Aisyah ra, “Siapa yang menceritakan kepada kalian bahwa Muhammad menyembunyikan sesuatu yang diperintahkan untuk disampaikan maka telah berdusta besar terhadap Allah. Kemudian beliau membaca ayat tersebut.” (HR Bukhori Muslim). (manzilatussunnahfil Islam, hal:4, MaktabahSyamilah)
2. Penjelasan pengertian lafadz atau kalimat atau ayat yang umat butuh penjelasannya. Terbanyak terjadi pada ayat-ayat yang mujmalah (samar) atau umum atau mutlaq, lalu datanglah hadits menjelaskan yang mujmal, mengkhususkan yang umum dan mentaqyid yang muthlaq. Hal itu dijelaskan dengan perkataan, perbuatan dan persetujuan beliau.
Contoh firman Allah yang berbunyi ;
الَّذِينَ آَمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ
بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ (82)
"Orang-orang yang
beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik),
mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah
orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Al An’am : 82)
Para sahabat telah memahami firman Allah di atas sesuai keumumannya yang mencakup seluruh kezholiman baik yang besar ataupun yang kecil. Oleh karena itu mereka bertanya tentang ayat tersebut dengan menyatakan ;
“Wahai Rasululloh! Siapakah diantara kami yang tidak mencampuri keimanannya dengan kezholiman?Maka beliau menjawab: Bukan demikian, ia itu adalah syirik, tidakkah kalian mendengar perkataan Luqman: Sesungguhnya syirik adalah kezholiman yang besar.” (QS Luqman: 13).(HR Bukhori Muslim dan lainnya).(manzilatus sunnah fil Islam, hal:14, Maktabah Syamilah)
Masih banyak lagi contoh yang beliau kemukakan dalam tulisannya tersebut terkait dengan ayat-ayat yang membutuhkan penjelasan dari sunnah Rasulullah Saw.
Syaikh ‘Imad Sayyid Muhammad Ismail Asy Syarbini mengatakan bahwa hubungan antara al-Qur’an dengan As-Sunnah adalah dalam hal penjelasan. Hal ini bias disimpulkan kepada tiga hal ;
1. Menguatkan hukum yang ditetapkan al-Qur`an.
Contoh firman Allah Swt dalam surat Hud : 102.
Para sahabat telah memahami firman Allah di atas sesuai keumumannya yang mencakup seluruh kezholiman baik yang besar ataupun yang kecil. Oleh karena itu mereka bertanya tentang ayat tersebut dengan menyatakan ;
“Wahai Rasululloh! Siapakah diantara kami yang tidak mencampuri keimanannya dengan kezholiman?Maka beliau menjawab: Bukan demikian, ia itu adalah syirik, tidakkah kalian mendengar perkataan Luqman: Sesungguhnya syirik adalah kezholiman yang besar.” (QS Luqman: 13).(HR Bukhori Muslim dan lainnya).(manzilatus sunnah fil Islam, hal:14, Maktabah Syamilah)
Masih banyak lagi contoh yang beliau kemukakan dalam tulisannya tersebut terkait dengan ayat-ayat yang membutuhkan penjelasan dari sunnah Rasulullah Saw.
Syaikh ‘Imad Sayyid Muhammad Ismail Asy Syarbini mengatakan bahwa hubungan antara al-Qur’an dengan As-Sunnah adalah dalam hal penjelasan. Hal ini bias disimpulkan kepada tiga hal ;
1. Menguatkan hukum yang ditetapkan al-Qur`an.
Contoh firman Allah Swt dalam surat Hud : 102.
وَكَذَلِكَ
أَخْذُ رَبِّكَ إِذَا أَخَذَ الْقُرَى وَهِيَ ظَالِمَةٌ إِنَّ أَخْذَهُ أَلِيمٌ
شَدِيدٌ (102)
“Begitulah azab Tuhanmu, apabila Dia mengazab penduduk negeri-negeri yang
berbuat zalim. Sesungguhnya azab-Nya itu adalah sangat pedih lagi
keras.”
keras.”
Ayat ini diperkuat dengan hadits riwayat Abu Musa yang maknanya hampir sama.Rasulullah
Saw bersabda: Sesungguhnya Allah Ta’ala akan menangguhkan
siksaannya bagi orang yang berbuat zhalim, apabila Allah telah menghukumnya maka dia tidak akan pernah melepaskannya. Kemudian Rasulullah Saw
membaca ayat surat Huud : 102 (H.R Muslim)
(kitabaatu a’dau al-islam wamunaqosyatuha, hal: 613, MaktabahSyamilah)
siksaannya bagi orang yang berbuat zhalim, apabila Allah telah menghukumnya maka dia tidak akan pernah melepaskannya. Kemudian Rasulullah Saw
membaca ayat surat Huud : 102 (H.R Muslim)
(kitabaatu a’dau al-islam wamunaqosyatuha, hal: 613, MaktabahSyamilah)
2. Menjelaskan
maksud al-Qur’an, yaitu dengan cara merinci yang mujmal, membatasi
yang mutlak, mengkhususkan yang umum dan menjelaskan yang musykil.
a. تفصيل المجمل (Merinci yang mujmal)
Contoh tentang kewajiban sholat dalam surat
an-Nisa’:103
……فَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ إِنَّ
الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا (103)
“Maka dirikanlah shalat itu sesungguhnya shalat itu
adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.”
Ayat ini hanya berisi tentang perintah sholat tapi
tidak menjelaskan bagaimana pelaksanaannya, jumlah rakaatnya, syarat dan rukun,
serta sebagainya sampai ada penjelasan terperinci dari Rasulullah Saw melalui
sabdanya ;
“Sholatlah kalian sebagaimana kalian melihataku sholat.” (H.R Bukhori)
b. تقييد
المطلقMembatasi yang mutlak
Contoh seperti ayat yang berkenaan potong tangan
dalam surat Al-Maidah: 38
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا
أَيْدِيَهُمَا … (38)
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang
mencuri, potonglah tangan keduanya…”
Ayat ini dibatasi oleh hadits bahwa yang
dipotong hanya sampai pada pergelangan tangan. Hadits ini bisa dilihat dalam
kitab Sunan Al-Kubro Imam Baihaqi.
c. تخصيص
العام Mengkhususkan yang umum.
Seperti ayat yang berkaitan tentang waris dalam
surat An-Nisa’ : 11
يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ
حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ
Allah mensyari'atkanbagimutentang
(pembagianpusakauntuk) anak-anakmu.Yaitu
:bahagianseoranganaklelakisamadenganbagahiandua orang anakperempuan
Ayat ini masih bersifat umum yang ditujukan kepada
orang tua untuk mewariskan harta kepada anak-anak mereka, tapi kemudian
Rasulullah mengkhususkan bahwa warisan hanya berlaku kepada sesama
muslim, dan lain sebagainya.
d. توضيح
المشكل Menjelaskan lafadz yang musykil
Ada lafadz dalam Al-Qur’an yang tidak diketahui
maknanya secara jelas kecuali setelah mendengar keterangan dari Nabi Saw.
Bahkan ini pernah terjadi pada ‘Aisyah ra terkait dengan
kata حساباdalam surat Al-Insyiqaq : 8. Dari
‘Aisyah, Rasul Saw bersabda: Tidak seorangpun yang dipaparkan hisabnya
melainkan akan celaka,” “Wahai Rasulullah bukankah Allah berfirman :
فأما من أوتي كتابه بيمينه فسوف يحاسب حسابا يسيرا
(Barangsiapa yang diberikan kitabnya sebelah kanan,
maka ia akan mendapat hisab yang mudah), Rasulullah bersabda: Yang
dimaksud ayat itu adalah amal yang diperlihatkan, dan tidaklah
seseorang hisabnya diperdebatkan, melainkan ia akan dihisab.” (H.R Bukhori) (kitabaatu a’dau al-Islam
wa munaqosyatuha, hal:614-620, Maktabah Syamilah)
3. Menetapkan
hukum baru yang tidak ditetapkan oleh al-Qur`an. Karena dalam al-Qur’an
terdapat ayat-ayat yang memerintahkan kepada orang-orang beriman
untuk taat secara mutlak kepada apa yang diperintahkan dan dilarang Rasulullah Saw, serta mengancam orang yang menyelisinya. (kitabaatua’dau al-Islam wa
munaqosyatuha, hal:612, MaktabahSyamilah)
untuk taat secara mutlak kepada apa yang diperintahkan dan dilarang Rasulullah Saw, serta mengancam orang yang menyelisinya. (kitabaatua’dau al-Islam wa
munaqosyatuha, hal:612, MaktabahSyamilah)
Hukum yang
merupakan produk hadits/sunnah yang tidak ditunjukan oleh al-Qur’an
banyak sekali. Seperti larangan memadu perempuan dengan bibinya dari pihak
ibu, haram memakan burung yang berkuku tajam, haram memakai cincin
emas, dan kain sutra bagi laki-laki dan lain sebagainya.Wallahu
a’lam
Macam-macam
Hadist
Tingkatan dan Jenis Hadits
1. Hadits Shohih (Sah/benar/sehat)
1. Hadits Shohih (Sah/benar/sehat)
2. Hadits Hasan (Bagus/Baik)
3. Hadits Dho’if (Lemah)
4. Hadits Marfu’ (Semua sanadnya
bersandar kepada Rasulullah Saw)
5. Hadits Mushahhaf (Kesalahan
terjadi pada catatan / bacaannya)
6. Hadits Muttasil (Sanadnya
bersambung sampai kepada Rasulullah Saw)
7. Hadits Mauquf (Sanadnya boleh
jadi bersambung, boleh jadi terputus)
8. Hadits Mun-qoti’ (Dho’if,
karena terputus sanadnya)
9. Hadits Mursal (Dho’if dan
Mardud)
10. Hadits Mu’allal (Terselubung
cacatnya / merusak keshohihan Hadits)
11. Hadits Ghorib (Yang
menyendiri)
12. Hadits Masyhur (Nyata)
13. Hadits Mudallas (Gelap /
Menyembunyikan cacat dalam sanad)
14. Hadits Mutawatir (Berturut
Sanadnya)
15. Hadits Syadz (Bertentangan)
16. Hadits Mudraj (Ada tambahan,
yang bukan bagian dari Hadits)
17. Hadits Maqlub (Dho’if. Karena
ada pergantian lafaz)
18. Hadits Mudhtorib (Rusak
susunan)
19. Hadits Mu’adhal (Menggugurkan
dua Perawi aslinya)(Hukumnya Dho’if)
20. Hadits Matruk (Dho’if yang
paling buruk. Perawinya tertuduh Pendusta)
21. Hadits Maudhu’ (Palsu.
Kebohongan yang diciptakan dan disandarkan kepada Rasul Saw)
22. Hadits Munkar (Cacat dan
Palsu perawinya kedapatan berbuat Fasiq)
Jika Hadits-hadits yang kita baca
terdapat Keterangan yang mengatakan seperti dibawah ini :
7 Imam : Al-Bukhari. Muslim.
Ahmad. Abu Daud. At-Turmudzy. An-Nasa’iy. Ibnu Majah.
6 Imam : Al-Bukhari. Muslim. Abu
Daud. At-Turmudzy. An-Nasa’iy dan Ibnu Majah.
5 Imam : Ahmad. Abu Daud.
At-Turmudzy. An-Nasa’iy. Ibnu Majah.
4 Imam : Ahmad. At-tirimidzy.
An-Nasa’iy. Ibnu Majah.
3 Imam : Abu Daud. At-turmudzy.
An-Nasaiy.Muttafaqun ‘Alaih : Al-Bukhari dan Muslim.
Banyak orang yang berjiwa ta’at
dan patuh kepada Agama. Tetapi karena pengetahuannya tentang Hadits sangat
terbatas, sehingga ia nampak seperti orang yang hidup dalam kegelapan. Yaitu
meraba-raba dan seperti berjalan tiada tentu arah tujuan. Tidak ada pegangan
yang menimbulkan ketenangan dalam hati untuk menetapkan langkahnya. Dan ia akan
berhati-hati dengan tidak ada alasan. Kadang-kadang mereka bisa bersikap sangat
pemberani (agresip). Padahal ia berbuat salah. Maka untuk menghindarkan segala
sifat yang buruk dan merugikan diri sendiri seperti yang demikian itu !!!
Hendaknya kita selalu mencari tambahan ilmu tentang Hadits. Dengan demikian
kita berjalan menurut Cahaya yang dianjurkan oleh Rasulullah Saw. kepada
seluruh umatnya. Kita mengharap kepada Allah SWT semoga kita jangan sampai
terperangkap dengan Hadits-hadits palsu !!! Yang pada akhirnya kita sendiri
yang akan rugi. Karena dari dahulu hingga sekarang. Kebanyakan dari kita, hanya
menerima Cerita-cerita Israiliyat yang sampai kepada kita melalui cerita entah
berantah, lalu kita katakan itu adalah Hadits Nabi Saw. Maka sanksinya adalah
Neraka !Oleh karena itu. Wajib bagi kita belajar lagi untuk memperhalus kaji.
Agar jangan menjadi orang yang hanya ikut-ikutan saja, alias ikut saja apa kata
orang. Yakni bertaqlid buta (tiada ‘ilmu). Ingatlah ! Neraka tetap menanti
kehadiran orang yang demikian ini !Dan semoga para pembaca yang berminat dengan
pelajaran ini, kita harapkan untuk mencari atau bertanya kepada Ahli Hadits
yang banyak liku-likunya, karena maksud dari pelajaran ini bukan menguraikan
ilmu Hadits, tetapi mengurai isi Hadits yang berkaitan dengan ketetapan Ibadah.
Maka dipersilahkan menambah ‘ilmu kepada para Ahli Hadits yang Mu’tabar
dimanapun ia berada.
Sunnah ada enam Kitab Hadits yang ternama, yang merupakan pegangan penjelasan utama bagi umat Islam. Keenam Kitab tersebut ialah :
Sunnah ada enam Kitab Hadits yang ternama, yang merupakan pegangan penjelasan utama bagi umat Islam. Keenam Kitab tersebut ialah :
1. Shohih Imam Al-Bukhari.
2. Shohih Imam Muslim.
3. Imam Abu Daud.
4. Imam An-Nasa’iy.
5. Shohih At-Turmudzy.
6. Imam Ibnu Majah.
Demikian serba sedikit tentang Hadit
dan Sunnah Mungkin teman2 ada yang mau berkomen tentang hadist sok dari
sekarang !
Sejarah Pembukuan Hadits
Pembukuan berbeda dengan penulisan. Seseorang yang
menulis sebuah shahifah (lembaran) atau lebih disebut dengan penulisan.
Sedangkan pembukuan adalah mengumpulkan lembaran-lembaran yang sudah
tertulis dan yang dihafal, lalu menyusunnya sehingga menjadi sebuah buku.
Upaya untuk mengumpulkan dan
membukukan hadits telah dilakukan pertama kali oleh Khalifah Umar bin Abdul
Aziz. Hal-hal yang mendorong untuk melakukan pengumpulan dan pembukuan adalah:
Tidak adanya larangan pembukuan,
sedangkan Al-Qur’an telah dihafal oleh ribuan orang, dan telah dikumpulkan
serta dibukukan pada masa Khalifah Utsman bin Affan. Dengan demikian dapat
dibedakan dengan jelas antara Al-Qur’an dengan hadits.
Kekhawatiran akan hilangnya
hadits karena ingatan kuat yang menjadi kelebihan orang Arab semakin melemah,
sedangkan para ulama telah menyebar dibeberapa penjuru negeri Islam setelah
terjadi perluasan kekuasaan negeri Islam.
Munculnya pemalsuan hadits akibat
perselisihan politik dan madzhab setelah terjadinya fitnah, dan terpecahnya
kaum muslimin menjadi pengikut Ali dan pengikut Mu’awiyah, serta Khawarij yang
keluar dari keduanya. Masing-masing golongan berusaha memperkuat madzhab-nya
dengan cara menafsirkan Al-Qur’an dengan makna yang bukan sebenarnya.
Akan tetapi, upaya pengumpulan
ini belum menyeluruh dan sempurna karena Umar bin Abdul Aziz wafat sebelum Abu
Bakar bin Hazm mengirimkan hasil pembukuan hadits kepadanya. Para ahli hadits
memandang bahwa upaya Umar bin Abdul Aziz merupakan langkah awal dari pembukuan
hadits. Mereka mengatakan, “Pembukuan hadits ini terjadi pada penghujung tahun
ke 100 pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz atas perintahnya.”
Adapun upaya pembukuan yang
sebenarnya dan menyeluruh dilakukan oleh Imam Muhammad bin Syihab Az-Zuhri yang
menyambut seruan Umar bin Abdul Aziz dengan tulus yang didasari karena
kecintaan pada hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan keinginannya
untuk melakukan pengumpulan.
Pembukuan hadits pada mulanya
belum disusun secara sistematis dan tidak berdasarkan pada urutaan bab-bab
pembahasan ilmu. Upaya pembukuan ini kemudian banyak dilakukan oleh ulama-ulama
setelah Az-Zuhri dengan metode yang berbeda-beda. Kemudian para ulama hadits
menyusunnya secara sistematis dengan menggunakan metode berdasarkan sanad dan
berdasarkan bab.
Ibnu Hajar berkata, “Orang yang
pertama melakukan demikian itu adalah Ar-Rabi’ bin Shubaih (wafat 16 H) dan
Said bin Abi Arubah (wafat 156 H) hingga kepada para ulama thabaqah (lapisan)
ketiga (dari kalangan tabi’in). Imam Malik menyusun Al-Muwatha’ di Madinah,
Abdullah bin Juraij di Makkah, Al-Auza’I di Syam, Sufyan At-Tsauri di Kufah,
Hamad bin Salamah bin Dinar di Basrah.”
Buku-buku yang ditulis pada masa
itu dan kini sudah dicetak antara lain:
Al-Muwatha’ karya Imam Malik bin
Anas
Al-Mushannaf karya Abdurrazaq bin
Hammam Ash-Shan’ani
As-Sunan karya Said bin Mansur
Al-Mushannaf karya Abu Bakar bin
Abu Syaibah
Karya-karya tersebut tidak hanya
terbatas pada kumpulan hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
akan tetapi bercampur antara hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
perkataan para sahabat, dan fatwa para tabi’in. Kemudian ulama pada periode
berikutnya memisahkan pembukuan hanya pada hadits Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam saja.
Ijtihad menurut bahasa yaitu memeras pikiran,
mencurahkan tenaga secara maksimal atau berusaha dengan sungguh-sungguh. Kata ijtihad memang tidak digunakan kecuali
untuk perbuatan yang harus dikerjakan dengan susah payah. Sedangkan menurut
istilah, yang disebut dengan Ijtihad ialah “Mengerahkan segala potensi dan
kemampuan semaksimal mungkin untuk menetapkan hukum-hukum syariah”
Selain dari itu adanya timbul masalah-masalah yang terjadi dalam masyarakat yang ketetapan hukumnya belum ada baik dalam Alquran maupun hadis. Seperti masalah inseminasi buatan (kawin suntik) pada manusia, bayi tabung, penggantian kelamin, donor mata dan lain-lain. Semua ini memerlukan Ijtihad untuk menetapkan hukumnya.
Menurut istilah ijtihad yaitu berusaha dengan sungguh-sungguh untuk memecahkan suatu masalah yang tidak ada ketetapan hukumnya, baik dalam Al Quran maupun hadist, dengan menggunakan akal pikiran serta berpedoman kepada ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan. Orang yang melakukan ijtihad disebut Mujtahid.
Ijtihad berasal dari (bahasa Arab اجتهاد) yang merupakan suatu proses penelitian yang serius yang dilakukan secara sungguh-sungguh oleh cendikiawan Islam (disebut mujtahid) untuk menerbitkan hukum-hukum yang bersifat praktis.
Proses ijtihad hanya berlaku terhadap hukum-hukum yang tidak jelas yang ada di dalam al-Quran atau al-Sunnah, sama ada ketidakjelasan itu bersumber dari lafaz yang terlalu umum, atau bersumber dari kredibilitas dalil yang digunakan itu sendiri.
Jika sesuatu dalil teks telah jelas dan putus, jelas maknanya tanpa bisa ditakwilkan lagi, dan dalil itu pula disahkan berotoritas, maka ijtihad tidak lagi perlu.
Ijtihad biasanya terjadi dengan mengambil pengajaran-pengajaran di dalam sumber hukum seperti quran dan sunnah untuk direalisasikan dalam realitas saat yang memerlukan hukum untuk dilakukan.
Persyaratan melakukan ijtihad adalah para cendikiawan yang dipercayakan dan layak yang dapat menjabarkan hukum-hukum dan melakukan pengujian terhadap hukum ini. Jika cendikiawan itu kurang layak dalam satu-satu aspek, tetapi sangat ahli dalam aspek-aspek yang lain, maka dia bisa mendapatkan keahlian-keahlian dari para cendikiawan lainnya. Konsep ini disebut ijtihad kolektif, yang berdasarkan kepada pakar (tajazzu 'al-ijtihad). Contoh sederhana adalah penentuan hukum dalam eutanasia atau mercy killing. Para cendikiawan fiqh dan sarjana kedokteran bisa bergabung pikiran untuk melakukan ijtihad secara kolektif. Begitu juga dalam kasus-kasus seperti GM Food atau "makanan diubah secara genetik", para cendikiawan fiqh perlu mendapatkan pandangan-pandangan pakar dalam bidang bio-teknologi dan sebaliknya.
Penelitian menemukan terlalu banyak kasus kasus hukum fiqh terutama dalam bab-bab kepenggunaan yang ada di dalam fiqh sebelumnya memerlukan perubahan dalam berbagai konteks. Fiqh yang terintegrasi dalam konteks umat dahulu tersusun di atas dasar penelitian yang terbatas dalam ruang lingkup teknologi dan situasi saat sekarang.
Adapun dasar-dasar keharusan Ijtihad antara lain terdapat di dalam Al Quran surat An Nisa 4 : 59 dan sabda rasullullah SAW kepada Abdullah bin Mas’ud : “Berhukumlah engkau dengan Al Quran dan As Sunnah apabila persoalan itu kau temukan pada dua sumber tersebut, tapi apabila engkau tidak menemukannya pada dua sumber tersebut maka berijtihadlah”
Syarat-syarat melakukan ijtihad :
1. Mengetahui isi dan kandungan Al Quran dan Al Hadist
2. Mengetahui seluk beluk bahasa Arab dan segala kelengkapannya
3. Mengetahui ilmu ushul dan kaidah-kaidah fiqih secara mendalam
4. Mengetahui soal-soal ijma’
Adapun hal-hal yang bisa diijtihadkan adalah hal-hal yang didalam Al Quran dan hadist tidak bisa ditemukannya hukumnya secara pasti.
Selain dari itu adanya timbul masalah-masalah yang terjadi dalam masyarakat yang ketetapan hukumnya belum ada baik dalam Alquran maupun hadis. Seperti masalah inseminasi buatan (kawin suntik) pada manusia, bayi tabung, penggantian kelamin, donor mata dan lain-lain. Semua ini memerlukan Ijtihad untuk menetapkan hukumnya.
Menurut istilah ijtihad yaitu berusaha dengan sungguh-sungguh untuk memecahkan suatu masalah yang tidak ada ketetapan hukumnya, baik dalam Al Quran maupun hadist, dengan menggunakan akal pikiran serta berpedoman kepada ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan. Orang yang melakukan ijtihad disebut Mujtahid.
Ijtihad berasal dari (bahasa Arab اجتهاد) yang merupakan suatu proses penelitian yang serius yang dilakukan secara sungguh-sungguh oleh cendikiawan Islam (disebut mujtahid) untuk menerbitkan hukum-hukum yang bersifat praktis.
Proses ijtihad hanya berlaku terhadap hukum-hukum yang tidak jelas yang ada di dalam al-Quran atau al-Sunnah, sama ada ketidakjelasan itu bersumber dari lafaz yang terlalu umum, atau bersumber dari kredibilitas dalil yang digunakan itu sendiri.
Jika sesuatu dalil teks telah jelas dan putus, jelas maknanya tanpa bisa ditakwilkan lagi, dan dalil itu pula disahkan berotoritas, maka ijtihad tidak lagi perlu.
Ijtihad biasanya terjadi dengan mengambil pengajaran-pengajaran di dalam sumber hukum seperti quran dan sunnah untuk direalisasikan dalam realitas saat yang memerlukan hukum untuk dilakukan.
Persyaratan melakukan ijtihad adalah para cendikiawan yang dipercayakan dan layak yang dapat menjabarkan hukum-hukum dan melakukan pengujian terhadap hukum ini. Jika cendikiawan itu kurang layak dalam satu-satu aspek, tetapi sangat ahli dalam aspek-aspek yang lain, maka dia bisa mendapatkan keahlian-keahlian dari para cendikiawan lainnya. Konsep ini disebut ijtihad kolektif, yang berdasarkan kepada pakar (tajazzu 'al-ijtihad). Contoh sederhana adalah penentuan hukum dalam eutanasia atau mercy killing. Para cendikiawan fiqh dan sarjana kedokteran bisa bergabung pikiran untuk melakukan ijtihad secara kolektif. Begitu juga dalam kasus-kasus seperti GM Food atau "makanan diubah secara genetik", para cendikiawan fiqh perlu mendapatkan pandangan-pandangan pakar dalam bidang bio-teknologi dan sebaliknya.
Penelitian menemukan terlalu banyak kasus kasus hukum fiqh terutama dalam bab-bab kepenggunaan yang ada di dalam fiqh sebelumnya memerlukan perubahan dalam berbagai konteks. Fiqh yang terintegrasi dalam konteks umat dahulu tersusun di atas dasar penelitian yang terbatas dalam ruang lingkup teknologi dan situasi saat sekarang.
Adapun dasar-dasar keharusan Ijtihad antara lain terdapat di dalam Al Quran surat An Nisa 4 : 59 dan sabda rasullullah SAW kepada Abdullah bin Mas’ud : “Berhukumlah engkau dengan Al Quran dan As Sunnah apabila persoalan itu kau temukan pada dua sumber tersebut, tapi apabila engkau tidak menemukannya pada dua sumber tersebut maka berijtihadlah”
Syarat-syarat melakukan ijtihad :
1. Mengetahui isi dan kandungan Al Quran dan Al Hadist
2. Mengetahui seluk beluk bahasa Arab dan segala kelengkapannya
3. Mengetahui ilmu ushul dan kaidah-kaidah fiqih secara mendalam
4. Mengetahui soal-soal ijma’
Adapun hal-hal yang bisa diijtihadkan adalah hal-hal yang didalam Al Quran dan hadist tidak bisa ditemukannya hukumnya secara pasti.
Dengan
perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi dewasa ini,
menuntut para ulama Islam untuk melakukan upaya rekonstruksi terhadap khasanah
hukum Islam secara inovatif. Termasuk yang cukup urgen, adalah upaya para ulama
tersebut untuk secara terus menerus melakukan ijtihad dibidang fiqih secara
benar dan dapat dipertanggung-jawabkan. Sebab kajian soal ijtihad akan selalu
mengingat kedudukan dan fungsi ijtihad dalam yurisprudensi Islam yang tidak
bisa dipisahkan produk-produk fiqih, apakah itu berfungsi sebagai purifikasi
atau reaktualisasi.
Suatu hal yang berlebih-lebihan
dan bersikap masa bodoh terhada realita di era modern ini, bila dikatakan bahwa
buku-buku karya ulama terdahulu sudah cukup memadai untuk memberikan jawaban
terhadap setiap persoalan baru yang muncul. Padahal setiap zaman itu
memiliki problematika sendiri, dan berbagai kebutuhan yang senantiasa muncul.
Apalagi bumi senantiasa berputar, semua cakrawalapun bergerak, dunia tetap
berjalan dan jarum jam tidak pernah berhenti.
Seiring perputaran yang terus
menerus ini dan perjalanan yang cepat, muncullah persoalan-persoalan baru yang
belum dikenal oleh orang-orang terdahulu. Bahkan belum pernah tergores dalam
sanubari mereka. Justru sekiranya problema yang muncul itu disampaikan kepada
mereka, niscaya dianggapnya sebagai sesuatu yang tidak logis.
Lebih dari itu, ada sebagian
peristiwa atau persoalan lama yang terjadi dalam kondisi dan sifat yang dapat
mengubah tabiat, bentuk, dan pengaruhnya. Sehingga hukum atau fatwa yang
ditetapkan oleh ulama-ulama terdahulu tidak relevan lagi. Hal demikian itu,
memotivasi mereka untuk merevisi fatwa lantaran berubahnya masa, tempat, adat
istiadat dan kondisi.
Dengan demikian, kebutuhan kita
terhadap ijtihad merupakan kebutuhan yang bersifat kontinyu, dimana realita
kehidupan ini senantiasa berubah, begitupun kondisi masyarakatnya yang selalu
mengalami perubahan dan perkembangan. Terutama pada masa seperti sekarang ini,
kita sangat memerlukan ijtihad melebihi masa-masa sebelumnya, mengingat telah
terjadi perbahan cukup besar dalam corak kehidupan masyarakat di era
modernisasi ini, setelah lahirnya revolusi industri, perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Jadi apabila kita terus menerus
berpegang kepada pendapat ulama terdahulu, memandang hasil ijtihad mereka,
ijtihad yang tidak boleh diusik-usik sedikit juga, tentulah golongan yang
menghendaki kemoderenan itu, memandang Islam ini, telah habis masanya. Jika
kita biarkan, akibatnya akan keislaman itu beransur-ansur hilang dalam
masyarakat kita.
Oleh karena itu, kedudukan
ijtihad sebagai hal yang mesti ada secara terus menerus sampai hari kiamat, demikian
menurut Ibn Qayyim. Karena tanpa ijtihad, fiqh tidak akan selalu relevan
disetiap zaman dan tempat. Ia akan membuat manusia merasa sempit dan akan
menimbulkan kekeliruan manusia memandang agamanya. Sedangkan Allah Swt.
berfirman dalam surah Al-Haj : 78
Terjemahnya:
“Dan Dia (Allah) sekali-kali
tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan …” (Al-Haj: 78).
Kemudian menurut Wahbah Suhaili,
bahwa ijtihad adalah nafasnya hukum Islam. Oleh karena itu, kalau kegiatan
ijtihad terhenti, maka hukum Islampun akan terhenti perkembangannya dan akan
terus tertinggal oleh dinamika kemajuan masyarakat. Sebaliknya kalau kegiatan
ijtihad itu selalu dinamis, maka produk-produk hukumnya akan jauh lebih maju
dari dinamika masyarakatnya.
Jadi untuk menjawab problematika
yang timbul di tengah-tengah masyarakat di era modernisasi ini, maka sangat
dibutuhkan ijtihad kontemporer (masa kini). Dan ajaran Islam akan selalu
relevan dengan zaman.
Sejarah ijtihad tidak bisa dilepaskan dari konsep perkembangan agama dalam menyikapi
perubahan budaya masyarakat. Sebab, ijtihad sendiri diartikan sebagai sebuah
upaya untuk mengkaji dengan segenap kemampuan intelektual pada fenomena yang
terjadi di tengah masyarakat, dikaitkan dengan hukum agama.
Sejarah ijtihad ini terjadi ketika muncul sebuah masalah yang belum
memiliki ketetapan hukum pasti atau nash, atau juga sudah memiliki nash namun
tidak bersifat pasti. Saat kondisi seperti ini terjadi pada masa Rasulullah
masih hidup, maka para sahabat akan menanyakan hal tersebut pada beliau.
Namun ketika beliau sudah wafat, maka para sahabat dan tokoh agama harus
berusaha dengan keras secara sungguh-sungguh, untuk bisa menemukan kepastian
hukum dari kondisi yang ada tersebut.
Sejarah ijtihad ini dimulai sebagai upaya untuk mencegah umat tersesat pada
hal-hal yang masih bersifat abu-abu. Sehingga untuk menghindari kebingungan dan
keraguan umat, dibukalah keran ijtihad.
Dasar yang digunakan adalah hukum nash atau hukum pasti yang memiliki
benang merah dengan fenomena yang ada sekarang. Seperti masalah penggunaan
narkoba, tidak dijelaskan dalam agama.
Namun, dampak narkoba yang memabukkan dan membuat para pemakainya lepas
kontrol adalah sama dengan dampak yang terjadi pada para peminum Khamr atau
minuman keras. Maka, hukum dari penggunaan narkoba ini disamakan dengan hukum
minuman keras, karena keduanya memiliki dampak memabukkan.
Macam-Macam Ijtihad
Dari pemahaman dan sejarah ijtihad ini, pada dasarnya ijtihad terbagi
menjadi tiga bagian. Ketiga macam ijtihad tersebut adalah :
1.
Ijtihad Istinbathi
Pengertian dari Ijtihad Istinbathi adalah ijtihad yang ditujukan untuk mengeluarkan hukum tetang sebuah masalah yang belum ada aturan pastinya atau nash. Juga pada sebuah masalah yang sudah ada nashnya tetapi masih bersifat dhanni atau belum bermakna pasti.
Dan yang menjadi keharusan dalam ijtihad Istibanthi ini adalah bahwa hal yang diijtihadi itu belum pernah dilakukan proses ijtihad sebelumnya.
Pengertian dari Ijtihad Istinbathi adalah ijtihad yang ditujukan untuk mengeluarkan hukum tetang sebuah masalah yang belum ada aturan pastinya atau nash. Juga pada sebuah masalah yang sudah ada nashnya tetapi masih bersifat dhanni atau belum bermakna pasti.
Dan yang menjadi keharusan dalam ijtihad Istibanthi ini adalah bahwa hal yang diijtihadi itu belum pernah dilakukan proses ijtihad sebelumnya.
2.
Ijtihad Tathbiqi
Ijtihad ini membahas tentang masalah yang sudah dilakukan proses ijtihad sebelumnya. Namun secara spesifik belum membahas mengenai sebuah kasus atau masalah, karena pada waktu dilakukan ijtihad sebelumnya kasus tersebut belum terjadi. Sehingga, dengan kata lain ijtihad Tathbiqi adalah sebuah ijtihad yang bersifat mengkhususkan sebuah masalah.
Ijtihad ini membahas tentang masalah yang sudah dilakukan proses ijtihad sebelumnya. Namun secara spesifik belum membahas mengenai sebuah kasus atau masalah, karena pada waktu dilakukan ijtihad sebelumnya kasus tersebut belum terjadi. Sehingga, dengan kata lain ijtihad Tathbiqi adalah sebuah ijtihad yang bersifat mengkhususkan sebuah masalah.
3.
Ijtihad tathbiqi
Ijtihad ini merupakan proses ijtihad dalam upaya untuk menjadikan proses ijtihad terdahulu sebagai sebuah aturan formal dalam bentuk Undang-undang yang bersifat mengikat. Karena, apabila sebuah proses ijtihad hanya disampaikan dalam bentuk pernyataan atau fatwa, maka hasil ijtihad tersebut tidak memiliki kekuatan hukum untuk mengikat secara formal.
Melalui ijtihad Tathbiqi ini, fatwa tersebut dirumuskan secara formal menjadi sebuah undang-undang. Sehingga, hasil ijtihad memiliki kekuatan dan ketetapan hukum yang akan mengikat.
Ijtihad ini merupakan proses ijtihad dalam upaya untuk menjadikan proses ijtihad terdahulu sebagai sebuah aturan formal dalam bentuk Undang-undang yang bersifat mengikat. Karena, apabila sebuah proses ijtihad hanya disampaikan dalam bentuk pernyataan atau fatwa, maka hasil ijtihad tersebut tidak memiliki kekuatan hukum untuk mengikat secara formal.
Melalui ijtihad Tathbiqi ini, fatwa tersebut dirumuskan secara formal menjadi sebuah undang-undang. Sehingga, hasil ijtihad memiliki kekuatan dan ketetapan hukum yang akan mengikat.
Bentuk Ijtihad Kolektif
Legislasi Syariat Sebagai Bentuk Ijtihad Kolektif
الخلاصة تفهم الشريعة بأنها كل أنظمة الله تتعلق بالعقيدة، والأخلاق أو الفقه، ولكن منذ زمن بعيد تحصر الشريعة فيما يدل على معنى الفقه. والفقه كما علم هو نتاج إجتهاد الذى يصدر من الكتاب والسنة، وأما القوانين المطبقة في إندونيسيا هى نتاج الفكر أيضا، ولكن لا يصدر كما من مصادر الفقه، وإنما يتأثّر بقوانين الإ ستعمار بل المحافظة على تركة الإستعمار. والآن، ما الفرق بين القوانين المذكورة و بين الفقه الذى يعبّر بالشريعة فيما بعد، وقد علم الجميع أن الكفأة، والثقة، والتكامل بين العلم والإيمان عند المجتهدين أعلى بكثير من منظرى ومواصلى تلك التركة، ومن منطلق هذا فلا حجة في ردّ التقنين أو تقنين الأحكام الإسلامية لتكون القانون المطبق في إندونيسيا، لأن يوميات كل إنسان لا تنفصل عن الشريعة، بل كل ثانية من نفسه تتعلق بالشريعة. وجانب آخر، أن التقنين أخفّ وأسهل من إجتهاد المجتهدين المتقدّمين فى الكشف عن الأحكام، لأن التقنين أو تشريع الشريعة ليكون الأحكام المطبقة لا يكون الا من إقتباس نتاج فكرة الشريعة الموجودة فى كتب المجتهدين. ولكن مع ذلك تسمى هذه العملية إجتهادا وفاعله يسمى مجتهدا، ولكن من مرتبة إجتهاد تحقيق المناط، أو إجتهاد التخريج ثم يعمل إجتهاد ترجيحى أو الإجتهاد تطبيقي. وإن كان هذا الإجتهاد يختلف عن إجتهاد المجتهدين إلا أنه ليس كل الناس يستطيع القيام به، ولكن مهما كان الأمر فلكون المسلمين هم غالبة الشعب، فالذين يمتلكون كفأة قريبة عن كفأة المجتهدين ليسوا قليلا، وهذا الأمر
بالطبع لا ينفكّ عن دورالحكومة. والأنسب هذه الإجراءات تفوض أيضا الى العلماء المجتهدين ا لإندونيسين
.
Selama ini syariat hanya dipahami sebagai segala peraturan Allah baik yang menyangkut akidah, akhlak atau fikih, namun sebenarnya sejak lama bahasa syariat ini direduksi hanya untuk menunjukkan kepada makna fikih. Fikih merupakan hasil ijtihad para mujtahid, namun hasil ijtihad ini selalu bersumber dari Alquran dan Hadis. Undang-undang yang berlaku di Indonesia juga termasuk hasil ijtihad para pakar hukum, namun ia bukan bersumber sebagaimana sumber fikih, tetapi masih dipengaruhi bahkan meneruskan warisan kolonial.
Kini, apa bedanya hukum-hukum tersebut dengan fikih -selanjutnya disebut syariat-, sementara semua orang mengetahui bahwa kompetensi, kredibilitas, integrasi antara keimanan dan keilmuan para mujtahid jauh lebih tinggi daripada perumus dan penerus warisan tersebut. Berdasarkan hal ini, sebenarnya tidak ada argumentasi lagi untuk menolak legislasi atau tasyri’ syariat Islam menjadi undang-undang positif Islam di Indonesia. Hal ini disebabkan dalam kesehariannya setiap orang tidak pernah lepas dari syariat, bahkan setiap detik tarikan napasnya ia selalu bersentuhan dengan syariat.
Selain itu, proses legislasi ini sebenarnya lebih ringan daripada yang dilakukan para mujtahid terdahulu dalam menemukan hukum. Sebab yang dinamakan legislasi atau tasyri’ syariat untuk ditetapkan menjadi hukum positif hanya "memetik" hasil pemikiran yang terdapat dalam berbagai kitab mujtahid terdahulu. Proses seperti ini tetap dinamakan ijtihad dan pelakunya juga dinamakan mujtahid, hanya saja tingkatan ijtihadnya berada pada tingkatan ijtihad tahqiq al-manath, atau ijtihad takhriji yang kemudian dilakukan dengan ijtihad tarjihi, atau dalam istilah lain disebut ijtihad thathbiqi.
Kendati tingkatan ijtihad yang dilakukan berbeda dengan tingkatan ijtihad para mujtahid terdahulu, namun tidak semua orang dapat melakukannya. Walaupun demikian, sebagai bangsa yang mayoritas muslim tampaknya tidak sedikit di antara masyarakat Islam yang berpotensi sesuai atau tidak jauh berbeda dengan kriteria-kriteria seorang mujtahid. Hal ini, dipastikan tidak lepas dari peran pemerintah dan layaknya apabila proses ini juga diserahkan kepada kepada para ulama atau mujtahid di Indonesia untuk melakukan ijtihad thathbiqi tersebut sehingga proses ini pun dapat disebut sebagai ijtihad kolektif.
Post a Comment