Suram, Masa Depan Generasi Muda
Ilustrasi : Selain menangkap 11 pelajar yang terlibat tawuran di Bogor, Sabtu lalu, polisi, Senin (30/1/2012), juga mengamankan sejumlah senjata untuk tawuran.
Tawuran antarsiswa pada Rabu dan Kamis lalu berujung kematian dua pelajar dan satu orang tua di Jakarta Timur. Ini menunjukkan bahwa norma kehidupan masyarakat telah luntur. Masa depan generasi penerus pun suram akibat terpengaruh budaya kekerasan.
Demikian diutarakan Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait pada Jumat (31/8).
Korban pertama, Jasuli (16), siswa kelas IX SMP Negeri 6, Jakarta Timur, yang tewas ditabrak KRL di Stasiun Buaran, Duren Sawit, Rabu (29/8) pukul 15.00, saat lari dari kejaran kelompok pelajar.
Korban kedua, Rahiman (64), pemangkas rambut keliling, yang tewas ditabrak KRL di dekat Stasiun Klender, Duren Sawit, saat menghindari tawuran antarsiswa SMK, Kamis (30/8) pukul 16.20.
Korban ketiga ialah Ahmad Yani (16), siswa kelas 1 SMK Negeri 39, Jakarta Pusat, yang meninggal dunia di RS Islam Pondok Kopi, Kamis pukul 19.00, dengan luka sabetan celurit dari tawuran antarsiswa di jalan layang Pondok Kopi, Cakung.
Arist menilai tawuran antarsiswa terjadi karena budaya kekerasan mengakar dan tekanan masalah di keluarga, sekolah, dan lingkungan.
Siswa melihat para senior, orang tua, pejabat, dan masyarakat menyukai kekerasan sebagai solusi masalah. Media massa juga berperan dengan menggencarkan pemberitaan kekerasan. ”Siswa menjadi memahami bahwa kekerasan solusi,” katanya.
Selain itu, siswa juga terbebani dengan pelajaran di sekolah, kurang sarana dan waktu untuk berkegiatan dan berekspresi secara positif melalui kesenian, olahraga, dan keagamaan untuk memupuk nilai-nilai toleransi, solidaritas, saling menghormati, perdamaian, dan cinta kasih.
Bisa jadi juga, masalah atau konflik dalam keluarga memperkeruh suasana batin siswa sehingga mereka melarikan diri dalam kekerasan.
Arist mengusulkan perlu gerakan dan tekad bersama menghentikan budaya kekerasan hingga di satuan kehidupan terkecil yakni keluarga.
Wakil Kepala SMK Negeri 39 Hendri Prasetyo juga menyesali kematian Ahmad Yani. Dia mengakui, patroli guru dan petugas guna memastikan siswa tidak berkeliaran seusai pulang sekolah ternyata belum cukup.
16 siswa ditangkap
Terkait proses hukum kematian Ahmad Yani, menurut Kasatreskrim Polres Metro Jakarta Timur Ajun Komisaris Dian Perry, sudah 16 siswa diperiksa dan 7 di antaranya masih ditahan. ”Kami melihat ada unsur pidana,” katanya.
Kasie Humas Polsek Cakung Inspektur Dua Sutrisno menambahkan, Ahmad Yani tewas akibat sabetan celurit oleh kelompok pelajar gabungan dua SMK. Tawuran itu pecah awalnya di Cempaka Putih, kemudian pindah ke dekat Stasiun Klender, berlanjut lagi di bawah jalan layang Pondok Kopi dan terhenti setelah ada korban tergeletak yakni Ahmad Yani.
Demikian diutarakan Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait pada Jumat (31/8).
Korban pertama, Jasuli (16), siswa kelas IX SMP Negeri 6, Jakarta Timur, yang tewas ditabrak KRL di Stasiun Buaran, Duren Sawit, Rabu (29/8) pukul 15.00, saat lari dari kejaran kelompok pelajar.
Korban kedua, Rahiman (64), pemangkas rambut keliling, yang tewas ditabrak KRL di dekat Stasiun Klender, Duren Sawit, saat menghindari tawuran antarsiswa SMK, Kamis (30/8) pukul 16.20.
Korban ketiga ialah Ahmad Yani (16), siswa kelas 1 SMK Negeri 39, Jakarta Pusat, yang meninggal dunia di RS Islam Pondok Kopi, Kamis pukul 19.00, dengan luka sabetan celurit dari tawuran antarsiswa di jalan layang Pondok Kopi, Cakung.
Arist menilai tawuran antarsiswa terjadi karena budaya kekerasan mengakar dan tekanan masalah di keluarga, sekolah, dan lingkungan.
Siswa melihat para senior, orang tua, pejabat, dan masyarakat menyukai kekerasan sebagai solusi masalah. Media massa juga berperan dengan menggencarkan pemberitaan kekerasan. ”Siswa menjadi memahami bahwa kekerasan solusi,” katanya.
Selain itu, siswa juga terbebani dengan pelajaran di sekolah, kurang sarana dan waktu untuk berkegiatan dan berekspresi secara positif melalui kesenian, olahraga, dan keagamaan untuk memupuk nilai-nilai toleransi, solidaritas, saling menghormati, perdamaian, dan cinta kasih.
Bisa jadi juga, masalah atau konflik dalam keluarga memperkeruh suasana batin siswa sehingga mereka melarikan diri dalam kekerasan.
Arist mengusulkan perlu gerakan dan tekad bersama menghentikan budaya kekerasan hingga di satuan kehidupan terkecil yakni keluarga.
Wakil Kepala SMK Negeri 39 Hendri Prasetyo juga menyesali kematian Ahmad Yani. Dia mengakui, patroli guru dan petugas guna memastikan siswa tidak berkeliaran seusai pulang sekolah ternyata belum cukup.
16 siswa ditangkap
Terkait proses hukum kematian Ahmad Yani, menurut Kasatreskrim Polres Metro Jakarta Timur Ajun Komisaris Dian Perry, sudah 16 siswa diperiksa dan 7 di antaranya masih ditahan. ”Kami melihat ada unsur pidana,” katanya.
Kasie Humas Polsek Cakung Inspektur Dua Sutrisno menambahkan, Ahmad Yani tewas akibat sabetan celurit oleh kelompok pelajar gabungan dua SMK. Tawuran itu pecah awalnya di Cempaka Putih, kemudian pindah ke dekat Stasiun Klender, berlanjut lagi di bawah jalan layang Pondok Kopi dan terhenti setelah ada korban tergeletak yakni Ahmad Yani.
Post a Comment